Karyawan resign bukan akhir, tapi bisa jadi awal reputasi buruk. Artikel ini bahas bagaimana HR bisa mencegah exit yang “beracun”.
Ilustrasi Awal:
Seorang karyawan keluar sambil bercerita di media sosial:
“Selama 2 tahun saya loyal, tapi keluar pun nggak dihargai.”
Postingannya viral, komentar penuh simpati, nama perusahaan ikut tercoreng.
Padahal kesalahannya bukan besar—hanya soal perlakuan yang dingin saat resign.
Masalah:
Karyawan yang keluar dengan kesan negatif bisa merusak brand dari luar.
Hal-hal yang sering luput:
- Tidak ada ucapan terima kasih atau pengakuan
- Exit process terlalu administratif, tidak manusiawi
- Tidak ditanyakan apakah ada hal yang bisa diperbaiki
Tanda Exit Karyawan Kurang Humanis
- Tidak ada perpisahan atau penghargaan simbolis
- Karyawan merasa dianggap “pengkhianat” karena resign
- HR tidak memfasilitasi ruang pamit yang sehat
Langkah HR Membuat Exit Lebih Manusiawi
1. Ucapkan Terima Kasih secara Personal dan Terbuka
- Bisa lewat email tim, huddle terakhir, atau pesan personal
- Jangan biarkan karyawan pergi tanpa pengakuan kontribusinya
2. Fasilitasi Sesi Pamit atau Sharing Singkat
- Buat ruang yang informal tapi bermakna
- Perkuat citra bahwa perusahaan tetap menghargai perjalanan mereka
3. Tanyakan Hal yang Bisa Diperbaiki
- Exit feedback bisa menyelamatkan puluhan kasus serupa
- Tunjukkan bahwa suara mereka masih penting meski sudah keluar
Tabel: Exit Toxic vs Exit Humanis
Exit yang Dingin dan Formal | Exit yang Manusiawi dan Positif |
---|---|
Tidak ada ucapan perpisahan | Ada pengakuan kontribusi |
Karyawan keluar dengan luka | Karyawan keluar dengan respect |
HR hanya proses administrasi | HR jadi fasilitator pengalaman baik |
Karyawan pergi bukan berarti musuh—bisa jadi mereka duta terbaik kita jika kita memperlakukan mereka dengan hormat.