Skills matrix sering hanya jadi pajangan jika tidak diintegrasikan ke pengambilan keputusan nyata. Pelajari bagaimana membuat skills matrix yang benar-benar hidup dan dipakai user.
Ilustrasi Awal:
Tim HR sudah bikin skills matrix per departemen.
Lengkap, rapi, bahkan warnanya pakai conditional formatting.
Tapi pas ditanya ke user:
“Oh, itu udah nggak update kayaknya, terakhir dicek awal tahun.”
Masalah:
Skills matrix sering jadi alat administratif yang tidak hidup—karena tidak menyatu dengan eksekusi dan kebutuhan nyata.
Tanda Skills Matrix Gagal Berfungsi:
- Disusun Sepihak oleh HR tanpa Validasi User
– Tidak ada input dari leader yang tahu performa harian - Tidak Ada Update Berkala
– Sekali buat, lalu didiamkan - Tidak Terkait Pengambilan Keputusan
– Promosi, penugasan proyek, dan training tidak merujuk matrix - Tidak Diakses oleh Atasan Langsung
– Hanya tersimpan di folder HR
Solusi: Skills Matrix yang Digunakan, Bukan Disimpan
1. Bangun Bareng Leader & Karyawan
– Minta feedback langsung untuk akurasi skill & levelnya
2. Integrasikan dengan Talent Review & Career Pathing
– Jadikan matrix sebagai alat input ke diskusi promosi dan pengembangan
3. Update Berkala Minimal Tiap 6 Bulan
– Bisa dikaitkan dengan cycle performance review
4. Sediakan Versi Visual & Ringkas untuk Tim Lapangan
– Hindari tools yang rumit dan tidak user-friendly
Tabel: Skills Matrix Pajangan vs Matrix Aktif
Aspek | Pajangan | Aktif & Digunakan |
---|---|---|
Penyusunan | Oleh HR sendiri | Kolaboratif dengan user |
Aksesibilitas | Disimpan di Google Drive HR | Dipegang juga oleh leader |
Update | Sekali setahun, maksimal | Rutin, berdasarkan progres nyata |
Dampak | Tidak mempengaruhi keputusan | Jadi dasar promosi & training plan |
Penutup:
Skills matrix bukan sekadar spreadsheet HR.
Kalau tidak dipakai untuk ambil keputusan, matrix itu hanya jadi dekorasi SDM—bukan alat manajemen talenta.